Saturday, November 12, 2011

Indonesia Logistics Summit 2011


INDONESIA LOGISTICS SUMMIT 2011
" Locally Integrated, Globally Connected"

    Garis besar diadakannya Indonesia Logistics Summit 2011 ini karena semakin dekatnya ASEAN Economic Community sedangkan peringkat Indonesia dalam Logistic Performance Index yang dikeluarkan oleh World Bank terjadi penurunan dari peringkat 43 menjadi 75.  Permasalahan-permasalahan yang dibahas agar dapat segera ditangani dan direalisasikan adalah:

1. Sebelum masuk ASEAN Economic Community, Indonesia harus siap dulu.  Termasuk untuk menangani forecast peningkatan container di Priok sebesar 5 juta tahun 2013-1015, sedangkan kenyataannya sekarang sudah tidak memadai (overload) lagi.  Opsi rencana penanggulangan:
a. Membuka lokasi baru untuk penimbunan container di Marunda
b. Perluasan area penimbunan container
c. Perbaikan infrastruktur yang udah ada
Pada opsi ketiga lebih realistis seperti pendapat dari Dirut Pelindo II, karena biaya lebih kecil dan bisa lebih maksimal.  Rencananya Pelindo ingin menambah crane di semua pelabuhan barang di Indonesia agar kapal bisa unload lebih cepat, tapi permasalahannya jika Custom masih seperti ini perilakunya, maka hasilnya container akan semakin menumpuk karena arus barang tersendat ketika custom clearance.

2. Penurunan rating Logistic Performance Index dari 43 jadi 75.  Inti masalah di Custom dan Infrastruktur yang ratingnya paling anjlok.  Menurut Henry Sundee, land cost di Indonesia terlalu tinggi sampai $ 750. padahal di Malaysia bisa $ 425.  
Juga mengenai masalah waktu rata-rata pengeluaran barang juga menurun dari 4,8 jadi 6 hari. Ini bisa lebih tinggi lagi, karena perhitungan rata-rata dari semua import di Indonesia. Padahal 62% import di Priok yg mengcover 80% import di Indonesia tujuannya ke Cikarang-Jababeka untuk import jenis KITE.

3. Masalah cargo Tracking.  Nantinya mau dibikin cargo tracking yang prinsipnya seperti INSW. No comment untuk bidang ini asalkan sistemnya yang memang 100% online dan paperless dalam artian tanpa campur tangan operator seperti INSW.  Karena website INSW kemampuannya terlalu minim dan standard, sedangkan untuk kegiatan custom clearance banyak dibutuhkan lampiran dokumen-dokumen yang berisi pengecualian dan lain-lain.

4. Sempat disinggung untuk memberlakukan reward and punishment untuk petugas Custom. Sebelum pulang sempat berbincang sebentar dengan seorang anggota KADIN tentang ini, masalahnya untuk penerapan punishment memang sudah ada di peraturan internal Custom tetapi untuk melaporkannya otomatis harus membuat BAP, dan disitu dicantumkan aju nomor berapa, B/L. Invoice, dll. Pasti dapat dilacak oleh petugasnya, untuk dicari nama importir dan PPJKnya, kemudian langsung dipendam dokumennya di tumpukan paling bawah. Nanti kejadiannya sama seperti salah satu forwarder pertengahan tahun 2009 lalu ketika terjadi pergantian manajer dengan orang yang tidak mau memberikan uang pelicin. Semua dokumennya numpuk sekitar 2 bulan tidak ada yang mau nanganin.  Akhirnya langkah dari KADIN akan mengajukan hasil summit ini langsung kepada Kepala Bea Cukai, tetapi jika tidak ada realisasi maka KADIN akan langsung maju ke MenKo agar bisa ditanggapi segera karena sudah mendesak.

     Hasil ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan karena seperti yang sudah ditanyakan pada saat diskusi panel, uneg-uneg perusahaan logistik dan semua pelaku bisnis Internasional di Indonesia terlalu banyak.  Apa yang tercurahkan saat konferensi ini sepertinya belum sampai 10% dari hambatan yang telah diciptakan oleh oknum (jika memang tidak mau dikatakan staff) Custom.  Seperti air dari pipa hidrant yang disalurkan ke selang water purifier rumahan.  Semua instansi yang berbicara menyatakan siap untuk mensupport logistik nasional, tetapi dengan hambatan utama yang terdapat pada bidang Custom, langkah yang terbaik apabila dari pihak Custom yang memiliki i'tikad baik.  Perlu diingat, semakin tinggi land cost maka pihak yang akan dibebankan adalah konsumen atau masyarakat karena land cost termasuk dalam variabel COGS (Cost of Goods Sold)


written by:  Indra Solichin